Kamis, 10 Oktober 2013

belajar islam 3

Manfaat Puasa Dari Segi Kesehatan

Marhaban Ya Ramadhan......

Bulan Ramadhan datang lagi, tiba waktunya bagi seluruh umat Islam di dunia untuk menjalankan ibadah puasa. Ya, di dalam Islam puasa termasuk ibadah yang mendidik jasmani maupun rohani. Puasa ialah meninggalkan makan, minum, merokok dan segala yang membatalkannya dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Dalam Hadist dikatakan " Berpuasalah niscaya kamu menjadi orang sehat ".Puasa Ramadhan yang dilakukan oleh umat muslim selama 30 hari memang penuh makna, selain menunaikan rukun Islam ke-3 puasa pun memilki manfaat bagi kesehatan. Di bulan suci ini umat Islam melakukan ibadah yang amat mulia,menumbuhkan empati dan kesadaran sosial melalui infak dan sedekah, menempa diri dengan meredam amarah serta mengekang hawa nafsu. Puasa pun menjadi ibadah yang paling nikmat dilakukan oleh semua umat muslim di dunia.

Segunung Manfaat Puasa
Selain dari sisi religi, berpuasa dari sudut kesehatan pun memiliki banyak manfaat. Dalam perkembangan dunia kesehatan, puasa sebagai terapi untuk mengatasi gangguan kesehatan semakin banyak diteliti. Para peneliti mengaitkan puasa dengan tujuan mengendalikan stress juga penyakit lain seperti hipertensi, kardiovaskuler, ginjal juga kanker.
Dengan berpuasa ada beberapa manfaat yang bisa dipetik antara lain memberi kesempatan pada alat pencernaan untuk beristirahat, membersihkan tubuh dari racun dan kotoran yang menumpuk dan merusak kesehatan, menyeimbangkan asam basa tubuh, memperbaiki fungsi hormon yang diperlukan dalam berbagai proses fisiologis dan biokimia tubuh, serta meremajakan sel –sel tubuh. Peremajaan sel-sel tubuh saat berpuasa organ pencernaan dan organ lainnya berada dalam posisi rileks sehingga kesempatan untuk memperbaiki selsel yang rusak juga menjadi lebih baik, selain itu fungsinya juga lebih meningkat.
Hasilnya, ibadah puasa tuntas, tubuhpun jadi lebih sehat.

Selama berpuasa lebih kurang 14-15 jam tubuh tidak mendapat suplai makanan dari luar. Para ahli mengatakan selama waktu tersebut tubuh akan menggunakan cadangan energi yang masih cukup untuk melakukan aktifitas, yaitu glikogen yang berasal dari makan yang mengandung karbohidrat.

Sahur & Berbuka
Siasati puasa dengan sahur dan berbuka yang tepat agar hari-hari yang dijalani saat berpuasa tetap bermakna. Tips-tips berikut kiranya dapat digunakan :

Sahur
-Makan sahur jangan berlebihan
-Makan dengan menu beragam & gizi yang cukup
-Hindari mengonsumsi makanan instant
-Kurangi makanan yang mengandung garam tinggi
-Minum air putih yang cukup saat sahur dan menjelang imsak
-Hindari minum manis berlebihan
-Minum food supplement

Berbuka
-Berbukalah dengan kurma & air putih
-Hindari minuman dingin / es / minuman bersoda
-Makan bertahap & perlahan
-Beri waktu 0.5-1 jam sebelum menyantap hidangan utama
-Bagi penderita sakit lambung hindari makanan: Ketan,mie,sayuran mentah berserat,bumbu yang tajam., karena dapat meningkatkan produksi asam lambung.


Telah banyak penelitian yang menyebutkan bahwa puasa memiliki banyak manfaat untuk kesehatan tubuh. Puasa juga dikaitkan dengan proses detoksifikasi atau pengeluaran zat racun dari tubuh. Nah, bagi Anda yang sedang menjalankan ibadah puasa, berikut adalah manfaat kesehatan dari puasa, seperti dilansir Yahoo!

1. Makan kurma

Kurma adalah makanan pembuka yang sering dihidangkan saat berbuka atau sahur. Salah satu aspek paling penting dari puasa adalah mendapatkan jumlah tepat energi dan nutrisi. Dan kurma adalah makanan terbaik yang menyediakan serat yang sangat dibutuhkan tubuh, yang akan membantu meningkatkan pencernaan dan menjaga kesehatan Anda selama puasa.

2. Meningkatkan kemampuan otak

Para ilmuwan di Amerika menemukan bahwa puasa dapat meningkatkan faktor neurotropik yang diturunkan dari otak, yang mendorong tubuh memproduksi lebih banyak sel-sel otak, sehingga dapat meningkatkan fungsi otak. Demikian juga, penurunan jumlah hormon kortisol, yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal, membuat seseorang dapat menurunkan tingkat stres selama dan setelah Ramadan.

3. Mengurangi kebiasaan buruk

Ramadan adalah waktu yang tepat untuk mengubah gaya hidup tidak sehat dan pola makan yang buruk. Selama puasa, kita juga bisa menghentikan kebiasaan buruk seperti merokok dan makan makanan manis.

4. Menurunkan kadar kolesterol

Kita semua tahu bahwa penurunan berat badan adalah salah satu dampak positif dari berpuasa selama Ramadan. Sebuah tim ahli jantung di Uni Emirat Arab menemukan bahwa orang berpuasa menikmati efek positif dari adanya pengurangan kolesterol dalam darah. Kolesterol rendah meningkatkan kesehatan jantung, sehingga seseorang dapat mengurangi risiko menderita penyakit jantung, serangan jantung, atau stroke. Terlebih lagi, jika Anda mengikuti diet sehat setelah Ramadan, tingkat kolesterol akan dapat diturunkan dengan mudah.

5. Mendetoksifikasi tubuh

Puasa dapat mendetoksifikasi tubuh dari racun yang menumpuk. Selama puasa, Anda dapat mendetoksifikasi sistem pencernaan dalam satu bulan. Ketika tubuh mulai memakan cadangan lemak untuk menciptakan energi, itu akan membakar setiap racun berbahaya yang mungkin hadir dalam timbunan lemak di tubuh Anda.

6. Menyerap banyak nutrisi

Selama puasa, metabolisme akan menjadi lebih efisien, yang berarti jumlah nutrisi yang diserap dari makanan semakin besar. Hal ini dikarenakan peningkatan hormon yang disebut adiponectin, yang diproduksi oleh kombinasi antara puasa dan sahur, sehingga memungkinkan otot untuk menyerap lebih banyak nutrisi.

7. Mengontrol berat badan

Puasa membuat kita lebih mudah menurunkan berat badan. Kita tidak perlu melakukan diet ekstrem untuk menurunkan beberapa kilo berat tubuh kita. Kita hanya perlu makan secukupnya dan tetap mengonsumsi makanan sehat selama puasa.

Inilah tujuh manfaat menakjubkan dari puasa yang dapat menyehatkan tubuh. Selamat menunaikan ibadah puasa!

Selasa, 08 Oktober 2013

Hari Raya Idul Adha/ Qurban

Idul Adha (di Republik Indonesia, Hari Raya Haji, bahasa Arab: عيد الأضحى) adalah sebuah hari raya Islam. Pada hari ini diperingati peristiwa kurban, yaitu ketika Nabi Ibrahim (Abraham), yang bersedia untuk mengorbankan putranya Ismail untuk Allah, akan mengorbankan putranya Ismail, kemudian digantikan oleh-Nya dengan domba.
Pada hari raya ini, umat Islam berkumpul pada pagi hari dan melakukan salat Ied bersama-sama di tanah lapang, seperti ketika merayakan Idul Fitri. Setelah salat, dilakukan penyembelihan hewan kurban, untuk memperingati perintah Allah kepada Nabi Ibrahim yang menyembelih domba sebagai pengganti putranya.
Hari Raya Idul Adha jatuh pada tanggal 10 bulan Dzulhijjah, hari ini jatuh persis 70 hari setelah perayaan Idul Fitri. Hari ini juga beserta hari-hari Tasyrik diharamkan puasa bagi umat Islam.
Pusat perayaan Idul Adha adalah sebuah desa kecil di Arab Saudi yang bernama Mina, dekat Mekkah. Di sini ada tiga tiang batu yang melambangkan Iblis dan harus dilempari batu oleh umat Muslim yang sedang naik Haji.
Hari Idul Adha adalah puncaknya ibadah Haji yang dilaksanakan umat Muslim. Terkadang Idul Adha disebut pula sebagai Idul Qurban atau Lebaran Haji.
Bahwa bila umat Islam meyakini, bahwa pilar dan inti dari ibadah Haji adalah wukuf di Arafah, sementara Hari Arafah itu sendiri adalah hari ketika jamaah haji di tanah suci sedang melakukan wukuf di Arafah, sebagaimana sabda Nabi saw.:
Ibadah haji adalah (wukuf) di Arafah.
—HR At Tirmidzi, Ibnu Majah, Al Baihaqi, ad Daruquthni, Ahmad, dan al Hakim. Al Hakim berkomentar, “Hadits ini sahih, sekalipun beliau berdua [Bukhari-Muslim] tidak mengeluarkannya”.
Dalam hadits yang dituturkan oleh Husain bin al-Harits al-Jadali berkata, bahwa amir Makkah pernah menyampaikan khutbah, kemudian berkata:
Rasulullah saw. telah berpesan kepada kami agar kami menunaikan ibadah haji berdasarkan ru’yat (hilal Dzulhijjah). Jika kami tidak bisa menyaksikannya, kemudian ada dua saksi adil (yang menyaksikannya), maka kami harus mengerjakan manasik berdasarkan kesaksian mereka.
—HR Abu Dawud, al Baihaqi dan ad Daruquthni. Ad Daruquthni berkomentar, “Hadits ini isnadnya bersambung, dan sahih.”
Hadits ini menjelaskan: Pertama, bahwa pelaksanaan ibadah haji harus didasarkan kepada hasil ru’yat hilal 1 Dzulhijjah, sehingga kapan wukuf dan Idul Adhanya bisa ditetapkan. Kedua, pesan Nabi kepada amir Makkah, sebagai penguasa wilayah, tempat di mana perhelatan haji dilaksanakan untuk melakukan ru’yat; jika tidak berhasil, maka ru’yat orang lain, yang menyatakan kesaksiannya kepada amir Makkah.

Kisah Kesabaran Nabi Ismail (Sejarah Hari Idul Adha)
Pada suatu hari, Nabi Ibrahim AS menyembelih kurban fisabilillah berupa 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak orang mengaguminya, bahkan para malaikat pun terkagum-kagum atas kurbannya.

“Kurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya,” kata Nabi Ibrahim AS, sebagai ungkapan karena Sarah, istri Nabi Ibrahim belum juga mengandung.

Kemudian Sarah menyarankan Ibrahim agar menikahi Hajar, budaknya yang negro, yang diperoleh dari Mesir. Ketika berada di daerah Baitul Maqdis, beliau berdoa kepada Allah SWT agar dikaruniai seorang anak, dan doa beliau dikabulkan Allah SWT. Ada yang mengatakan saat itu usia Ibrahim mencapai 99 tahun. Dan karena demikian lamanya maka anak itu diberi nama Isma'il, artinya "Allah telah mendengar". Sebagai ungkapan kegembiraan karena akhirnya memiliki putra, seolah Ibrahim berseru: "Allah mendengar doaku".

Ketika usia Ismail menginjak kira-kira 7 tahun (ada pula yang berpendapat 13 tahun), pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS bermimpi ada seruan, “Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu (janjimu).”

Pagi harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah mimpi itu dari Allah SWT atau dari setan? Dari sinilah kemudian tanggal 8 Dzulhijah disebut sebagai hari tarwiyah (artinya, berpikir/merenung).

Pada malam ke-9 di bulan Dzulhijjah, beliau bermimpi sama dengan sebelumnya. Pagi harinya, beliau tahu dengan yakin mimpinya itu berasal dari Allah SWT. Dari sinilah hari ke-9 Dzulhijjah disebut dengan hari ‘Arafah (artinya mengetahui), dan bertepatan pula waktu itu beliau sedang berada di tanah Arafah.

Malam berikutnya lagi, beliau mimpi lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan harinya, beliau bertekad untuk melaksanakan nazarnya (janjinya) itu. Karena itulah, hari itu disebut denga hari menyembelih kurban (yaumun nahr). Dalam riwayat lain dijelaskan, ketika Nabi Ibrahim AS bermimpi untuk yang pertama kalinya, maka beliau memilih domba-domba gemuk, sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya. Beliau mengira bahwa perintah dalam mimpi sudah terpenuhi. Untuk mimpi yang kedua kalinya, beliau memilih unta-unta gemuk sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya, dan beliau mengira perintah dalam mimpinya itu telah terpenuhi.

Pada mimpi untuk ketiga kalinya, seolah-olah ada yang menyeru, “Sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu agar menyembelih putramu, Ismail.” Beliau terbangun seketika, langsung memeluk Ismail dan menangis hingga waktu Shubuh tiba. Untuk melaksanakan perintah Allah SWT tersebut, beliau menemui istrinya terlebih dahulu, Hajar (ibu Ismail). Beliau berkata, “Dandanilah putramu dengan pakaian yang paling bagus, sebab ia akan kuajak untuk bertamu kepada Allah.” Hajar pun segera mendandani Ismail dengan pakaian paling bagus serta meminyaki dan menyisir rambutnya.

Kemudian beliau bersama putranya berangkat menuju ke suatu lembah di daerah Mina dengan membawa tali dan sebilah pedang. Pada saat itu, Iblis terkutuk sangat luar biasa sibuknya dan belum pernah sesibuk itu. Mondar-mandir ke sana ke mari. Ismail yang melihatnya segera mendekati ayahnya.

“Hai Ibrahim! Tidakkah kau perhatikan anakmu yang tampan dan lucu itu?” seru Iblis.

“Benar, namun aku diperintahkan untuk itu (menyembelihnya),” jawab Nabi Ibrahim AS.

Setelah gagal membujuk ayahnya, Iblsi pun datang menemui ibunya, Hajar. “Mengapa kau hanya duduk-duduk tenang saja, padahal suamimu membawa anakmu untuk disembelih?” goda Iblis.

“Kau jangan berdusta padaku, mana mungkin seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar.

“Mengapa ia membawa tali dan sebilah pedang, kalau bukan untuk menyembelih putranya?” rayu Iblis lagi.

“Untuk apa seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar balik bertanya.

“Ia menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu”, goda Iblis meyakinkannya.

“Seorang Nabi tidak akan ditugasi untuk berbuat kebatilan. Seandainya itu benar, nyawaku sendiri pun siap dikorbankan demi tugasnya yang mulia itu, apalagi hanya dengan mengurbankan nyawa anaku, hal itu belum berarti apa-apa!” jawab Hajar dengan mantap.

Iblis gagal untuk kedua kalinya, namun ia tetap berusaha untuk menggagalkan upaya penyembelihan Ismail itu. Maka, ia pun menghampiri Ismail seraya membujuknya, “Hai Isma’il! Mengapa kau hanya bermain-main dan bersenang-senang saja, padahal ayahmu mengajakmu ketempat ini hanya untk menyembelihmu. Lihat, ia membawa tali dan sebilah pedang,”

“Kau dusta, memangnya kenapa ayah harus menyembelih diriku?” jawab Ismail dengan heran. “Ayahmu menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu” kata Iblis meyakinkannya.

“Demi perintah Allah! Aku siap mendengar, patuh, dan melaksanakan dengan sepenuh jiwa ragaku,” jawab Ismail dengan mantap.

Ketika Iblis hendak merayu dan menggodanya dengan kata-kata lain, mendadak Ismail memungut sejumlah kerikil ditanah, dan langsung melemparkannya ke arah Iblis hingga butalah matanya sebelah kiri. Maka, Iblis pun pergi dengan tangan hampa. Dari sinilah kemudian dikenal dengan kewajiban untuk melempar kerikil (jumrah) dalam ritual ibadah haji.

Sesampainya di Mina, Nabi Ibrahim AS berterus terang kepada putranya, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?…” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).

“Ia (Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).

Mendengar jawaban putranya, legalah Nabi Ibrahim AS dan langsung ber-tahmid (mengucapkan Alhamdulillâh) sebanyak-banyaknya.

Untuk melaksanakan tugas ayahnya itu Ismail berpesan kepada ayahnya, “Wahai ayahanda! Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan. Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul rasa iba. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun sehingga bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu akan turut berduka.”

“Tajamkanlah pedang dan goreskan segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat proses mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada agar ibu agar menjadi kenangan baginya, serta sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata, ‘Wahai ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah.’ Terakhir, janganlah ayah mengajak anak-anak lain ke rumah ibu sehingga ibu sehingga semakin menambah belasungkawa padaku, dan ketika ayah melihat anak lain yang sebaya denganku, janganlah dipandang seksama sehingga menimbulka rasa sedih di hati ayah,” sambung Isma'il.

Setelah mendengar pesan-pesan putranya itu, Nabi Ibrahim AS menjawab, “Sebaik-baik kawan dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah kau, wahai putraku tercinta!”

Kemudian Nabi Ibrahim as menggoreskan pedangnya sekuat tenaga ke bagian leher putranya yang telah diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya.

Ismail berkata, “Wahai ayahanda! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah SWT dalam menjalan perintah semata-mata karena-Nya.”

Nabi Ibrahim as melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan wajah anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya dengan sekuat tenaganya, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, beliau menghujamkan pedangnya kearah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian. “Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?” gerutu beliau.

Atas izin Allah SWT, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 106)

Menurut satu riwayat, bahwa Ismail diganti dengan seekor domba kibas yang dulu pernah dikurbankan oleh Habil dan selama itu domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril datang membawa domba kibas itu dan ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim AS menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Dan pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya ber-takbir (Allâhu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah SWT atas kesabaran kedua umat-Nya dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu, malaikai Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”. Nabi Ibrahim AS menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. Kemudian bacaan-bacaan tersebut dibaca pada setiap hari raya kurban (Idul Adha).

Hikmah hari raya idul Adha
Idul Adha adalah momentum menumbuhsuburkan rasa rasa kasih sayang di antara sesama. Inilah pesan indah yang dicanangkan dua manusia agung; Ibrahim Khalilullah dan Rasulullah SAW.
Idul Adha bisa kita maknai dari dua sisi. Yaitu dari sisi ajaran yang dibawa Rasulullah SAW dan dari sisi pengalaman Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dalam Alquran, keduanya digelari uswatun hasanah (Nabi yang menjadi teladan dalam kebaikan). Difirmankan, ''Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.'' (QS Al Ahzab [33]: 21). Juga, ''Sesungguhnya telah ada teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia.'' (QS Al Mumtahanah [60]: 6). 
Hikmah dari Rasulullah SAW
 Dilihat dari sisi ajaran Rasulullah SAW, Idul Adha erat kaitannya dengan diturunkannya ayat ketiga dari QS Al Maa'idah [5]. Difirmankan, ''Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.''
Ayat ini adalah ayat Alquran terakhir yang diterima Rasulullah SAW Ada yang menarik, ayat ini turun pada 9 Dzulhijjah tatkala beliau sedang wukuf di Arafah-saat menunaikan ibadah terakhir. Karena Allah SWT telah mengikrarkan kesempurnaan Islam, maka kita merayakan; mensyukuri; dan memperingatinya dengan hari raya Idul Adha. Dalam ayat ini Allah SAW "mengikrarkan" tiga hal, yaitu: (1) menyempurnakan bangunan agama Islam; (2) mencukupkan semua nikmat-Nya kepada Rasulullah SAW; dan (3) merelakan Islam sebagai dien (agama) terakhir dan terbaik.
Dalam bahasa Alquran, kata akmaltu berbeda dengan kata akmamtu. Satu kumpulan dari banyak hal yang sempurna dinamai "kusempurnakan". Dengan kata lain, semua unsur di dalamnya memiliki kesempurnaan. Tapi kalau akmamtu (Kucukupkan) bermakna kumpulan dari hal yang tidak sempurna. Ia baru sempurna bila semuanya berkumpul menjadi satu.
Kita perbandingkan dengan ajaran Islam. Allah SWT telah mensyariatkan banyak ibadah, misalnya shalat, zakat, haji, puasa, munakat, waris, jihad, dan lainnya. Semuanya telah sangat sempurna, aturan-aturannya telah dirancang dengan sangat jelas. Maka, kumpulan ajaran yang sempurna ini Allah SWT sebut dengan akhmaltu; "Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu."
Lain halnya dengan nikmat? Sebesar apa pun nikmat dunia sangat jarang (bahkan tidak pernah) mencapai taraf sempurna. Saat kita dianugerahi sehat misalnya, maka kesehatan tersebut tidak pernah mencapai seratus persen, selalu saja ada yang kurang. Demikian pula nikmat harta. Sebesar apa pun harta yang kita miliki pasti akan selalu kurang. Andai pun kita dianugerahi kesehatan dan kekayaan, maka kekurangan akan tetap terasa bila kita tidak memiliki pasangan hidup, atau keturunan, atau persahabatan, atau rasa aman. Semua nikmat baru dikatakan sempurna apabila dipayungi agama.
Ikrar ketiga adalah diridhainya Islam sebagai agama. "Dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama (dien) bagimu". Diendimaknai sebagai agama. Menurut ulama tafsir, kata dien terambil dari akar yang sama dengan kata daina atau utang. Allah telah menganugerahkan nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Maka, secara tidak langsung kita berhutang budi kepada-Nya. Bagaimana sikap orang berhutang? Kalau mampu ia wajib membayar. Namun, kalau tidak mampu ia harus datang kepada yang memberi utang untuk meminta maaf atau menyerahkan sesuatu yang dimilikinya. Kalau tidak punya apa-apa, ia layak menyerahkan diri untuk "diapa-apakan" oleh yang memberi utang. Karena kemurahan-Nya, Allah rela kita tidak membayar utang-utang kita kepada-Nya, asal kita rela menyerahkan jiwa raga kita kepada-Nya.
Disempurnakannya ajaran Islam, dicukupkannya curahan nikmat, dan "dibebaskannya" kita dari utang, adalah anugerah terbesar yang Allah karuniakan kepada kita. Maka, tidak ada yang pantas kita lakukan selain mensyukurinya. Syukur dimaknai dengan menggunakan semua nikmat untuk mendekat kepada Allah. Dengan demikian, Idul Adha menjadi momentum tepat bagi kita untuk: (1) berusaha memahami makna syukur yang hakiki; (2) mengevaluasi kualitas syukur kita kepada Allah; dan (3) menjadikan setiap aktivitas kita sebagai cerminan rasa syukur kepada Allah. Idul Adha bisa pula dijadikan momentum untuk menumbuhkan kesadaran akan sempurnanya ajaran Islam. Ujung dari kesadaran ini adalah lahirnya kebanggaan menjadi seorang Muslim, rela diatur hukum Islam, dan berkorban demi kejayaan Islam.
Hikmah dari Nabi Ibrahim AS

Dilihat dari sisi Nabi Ibrahim, materinya sudah sangat jelas. Idul Adha (Idul Qurban) adalah refleksi pengalaman Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail. Pengalaman ayah dan anak terekam jelas dalam Alquran (QS Ash Shaaffaat [37]: 99-113). ''Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar''.'' (QS 37: 102). Karena kesabaran dan ketaatan keduanya, Allah SWT berkenan mengganti Ismail dengan seekor domba. Tradisi ini terus berlanjut hingga sekarang. Setiap tahun kita berkurban domba, sapi, atau unta, dan mengabadikannya menjadi hari raya Idul Adha (Idul Kurban).
Apa hikmahnya bagi kita? Pada masa Nabi Ibrahim hidup, sekitar 4300 tahun lalu, menjadikan manusia sebagai sesaji adalah hal biasa. Di Mesir kuno, setiap tahunnya selalu dilaksankan kontes kecantikan, dan yang terpilih akan ditenggelamkan di Sungai Nil sebagai persembahan kepada dewa. Di Mesopotamia (Irak) yang dijadikan sesaji adalah bayi. Di Aztek, yang dijadikan sesaji adalah para pemuka agama. Digantinya Ismail dengan seekor domba menandai lahirnya revolusi besar dalam sejarah peradaban manusia, yaitu dihapuskannya pengorbanan manusia. Manusia itu terlalu mahal untuk dikorbankan. Hikmahnya, kita harus menghormati manusia, jangan mengorbankan manusia, bahagiakan manusia, dan bantu mereka yang membutuhkan bantuan.
Idul Adha adalah momentum menumbuhsuburkan rasa rasa kasih sayang di antara sesama. Idul Adha harus kita manfaatkan sebagai momentum menyambungkan tali silaturahmi, melatih kepekaan, empati, dan mengikis kebencian di hati. Inilah pesan indah yang dicanangkan dua manusia agung; Ibrahim Khalilullah dan Muhammad SAW.

Hewan Qurban dan Syaratnya

Setelah sebelumnya kita membahas Definisi, Dalil dan Keutamaan Qurban dalam Fiqih Sunnah, lalu Hukum dan Hikmah Qurban, pada edisi ketiga ini kita membahas Hewan Qurban dan Syaratnya.

Hewan yang Boleh Diqurbankan
Adapun hewan yang boleh diqurbankan adalah unta, sapi, dan kambing (domba). Selain tiga jenis hewan itu, tidak dibenarkan. Sebagaimana firman Allah SWT,

لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

…agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak… (QS. Al-Hajj : 34)

Hewan qurban berupa domba yang dianggap layak adalah yang berumur setengah tahun, kambing berumur satu tahun, sapi berumur dua tahun, dan unta berumur lima tahun. Semua hewan itu tidak dibedakan apakah jantan atau betina, berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

1. Riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Abu Hurairah, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,

نِعْمَتِ الأُضْحِيَةُ الْجَذَعُ مِنَ الضَّأْنِ

Hewan qurban yang paling baik adalah jadza kambing.

Menurut Imam Hanafi, jadza adalah kambing/domba yang telah berumur beberapa bulan, sedangkan menurut Imam Syafi’i jadza adalah kambing yang berumur satu tahun. Inilah yang paling shahih.

2. Riwayat dari Uqbah bin Amir, ia berkata,

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ أَصَابَنِى جَذَعٌ. فَقَالَ ضَحِّ بِهِ

Aku bertanya: “Ya Rasulullah, aku memiliki jadza’.” Kemudian Rasulullah menjawab, “Berqurbanlah dengannya.” (HR. Muslim)

3. Riwayat Muslim dari Jabir bahwa Rasulullah bersabda,

لاَ تَذْبَحُوا إِلاَّ مُسِنَّةً إِلاَّ أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ

Janganlah kalian berqurban kecuali yang telah berumur satu tahun ke atas. Jika hal itu menyulitkanmu, maka sembelihlah yang jadza’ kambing.

Adapun hewan qurban berumur tua adalah unta yang telah berusia lima tahun, sapi yang berumur dua tahun, kambing yang berumur satu tahun, dan domba yang berumur satu tahun atau enam bulan. Hewan qurban yang tua disebut juga tsaniyyah.

Hewan Kambing Qurban yang Dikebiri
Diperbolehkan berqurban dengan kambing yang dikebiri. Sebagaimana riwayat Ahmad dari Abu Rafi’, Rasulullah telah berqurban dengan dua ekor kambing qibasy yang berwarna putih bercampur hitam dan telah dikebiri karena daging kambing itu lebih enak dan lezat.

Hewan yang Tidak Boleh Diqurbankan
Syarat hewan qurban adalah tidak cacat. Tidak dibolehkan berqurban dengan hewan cacat misalnya:
1. penyakit yang jelas terlihat
2. picak matanya
3. pincang sekali
4. sumsum tulangnya tidak kelihatan karena sangat kurus. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

أربعة لا تجزئ في الاضاحي: العوراء البين عورها والمريضة البين مرضها والعرجاء البين ظلعها والعجفاء التي لا تنقي

Empat jenis penyakit pada hewan qurban yang tidak layak yaitu hewan yang picak dengan jelas, yang sakit dan penyakitnya terlihat jelas, yang pincang sekali, dan yang kurus sekali. (HR. Tirmidzi)

5. terdapat cacat; yaitu telinga atau tanduknya sebagian besar hilang.

Cacat tambahan selain lima hal di atas adalah hatma (rontok seluruh gigi depan), ashma (kulit tanduk mengelupas), umya (buta), taula (tidak digembalakan/liar), dan jarba (banyak kudis).

Hal-hal yang masih ditolerir adalah tak bersuara, ekornya putus, bunting, dan tidak memiliki sebagian telinga atau sebagian bokongnya. Menurut pendapat kalangan mazhab Syafi’i yang tershahih bahwa bokongnya terputus dan kantong susunya tidak ada, maka tidak memenuhi syarat, karena hilang sebagian organ tubuh yang dapat dikonsumsi. Begitu pula halnya dengan ekor yang terputus. Imam Syafi’i mengatakan, “Kami tidak menemukan hadits yang meyebutkan gigi sama sekali.”



Minggu, 06 Oktober 2013

Belajar Tentang Islam 2

OBJEK KAJIAN ILMU AQIDAH
Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.


Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.


PENAMAAN AQIDAH MENURUT AHLUS SUNNAH

Di antara nama-nama ‘aqidah menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:

1. Al-Iman

‘Aqidah disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang di-sebutkan dalam Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril Alaihis sallam. Dan para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut istilah ‘aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab mereka. [2]

2. ‘Aqidah (I’tiqaad dan ‘Aqaa-id)

Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan istilah ‘Aqidah Salaf: ‘Aqidah Ahlul Atsar dan al-I’tiqaad di dalam kitab-kitab mereka. [3]

3. Tauhid

‘Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid secara umum menurut ulama Salaf. [4]

4. As-Sunnah

As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga generasi pertama. [5]

5. Ushuluddin dan Ushuluddiyanah

Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi ke-sepakatan para ulama. [6]

6. Al-Fiqhul Akbar

Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi. [7]

7. Asy-Syari’ah

Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah ‘aqidah). [8]

Itulah beberapa nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus Sunnah menama-kan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.


PENAMAAN AQIDAH MENURUT FIRQAH (SEKTE) LAIN:

Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari ilmu ‘aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:

1. Ilmu Kalam

Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mu-takallimin (pengagung ilmu kalam), seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah [9] dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupakan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu.

Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai karena bertentangan dengan metodologi ulama Salaf dalam menetapkan masalah-masalah ‘aqidah.


2. Filsafat

Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.

3. Tashawwuf

Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena merupakan pe-namaan yang baru lagi diada-adakan. Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam ‘aqidah.

Penamaan Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.


Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.” [10]


Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di dalam bukunya at-Tashawwuful-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau Radhiyallahu ‘anhum, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta kezuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.” [11]


Syaikh ‘Abdurrahman al-Wakil rahimahullah berkata di dalam kitab-nya, Mashra’ut Tashawwuf: “Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela. Syaithan telah membuat hamba Allah tertipu dengannya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih mendalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme, Budhisme, Zoroasterisme, Platoisme, Yahudi, Nasrani dan Paganisme.” [12]


4. Ilaahiyyat (Teologi)

Illahiyat adalah kajian ‘aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan pena-maan yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala menurut persepsi mereka.

5. Kekuatan di Balik Alam Metafisik

Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.

Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli. Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai pengertian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]

__________
Foote Note
[1]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 12-14).
[2]. Seperti Kitaabul Iimaan karya Imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (wafat th. 224 H), Kitaabul Iimaan karya al-Hafizh Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah (wafat th. 235 H), al-Imaan karya Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitabul Iman karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H), ÑÍãåã Çááå .
[3]. Seperti ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits karya ash-Shabuni (wafat th. 449 H), Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 5-6) oleh Imam al-Lalika-i (wafat th. 418 H) dan al-I’tiqaad oleh Imam al-Baihaqi (wafat th. 458 H), ÑÍãåã Çááå.
[4]. Seperti Kitaabut Tauhiid dalam Shahiihul Bukhari karya Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H), Kitaabut Tauhiid wa Itsbaat Shifaatir Rabb karya Ibnu Khuzaimah (wafat th. 311 H), Kitaab I’tiqaadit Tauhiid oleh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat th. 371 H), Kitaabut Tauhiid oleh Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitaabut Tauhiid oleh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (wafat th. 1206 H), ÑÍãåã Çááå.
[5]. Seperti kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H), as-Sunnah karya ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat th. 290 H), as-Sunnah karya al-Khallal (wafat th. 311 H) dan Syarhus Sunnah karya Imam al-Barba-hari (wafat th. 329 H), ÑÍãåã Çááå.
[6]. Seperti kitab Ushuuluddin karya al-Baghdadi (wafat th. 429 H), asy-Syarh wal Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Ibnu Baththah al-Ukbari (wafat th. 387 H) dan al-Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H), ÑÍãåã Çááå.
[7]. Seperti kitab al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah t (wafat th. 150).
[8]. Seperti kitab asy-Syarii’ah oleh al-Ajurri (wafat th. 360 H) dan al-Ibaanah ‘an Syarii’atil Firqah an-Naajiyah karya Ibnu Baththah.
[9]. Seperti Syarhul Maqaashid fii ‘Ilmil Kalaam karya at-Taftazani (wafat th. 791 H).
[10]. Ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan (hal. 17), dikutip dari Haqiiqatuth Tashawwuf karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan (hal. 18-19).
[11]. At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashaadir (hal. 50), cet. I/ Idaarah Turjumanis Sunnah, Lahore-Pakistan, th. 1406 H.
[12]. Mashra’ut Tashawwuf (hal. 10), cet. I/ Riyaasah Idaaratil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’, th. 1414 H.



Modern Dalam Gelombang Jahiliyah Modern

MediaMuslim.InfoInilah wajah kampung halaman kita. Telah menjadi kebanggaan syetan-syetan di depan Iblis. Mungkinkah kita lupa! Syetan dan Iblis itu adalah musuh bebuyutan bani adam yaitu seluruh yang berbangsa manusia, lalu kenapa malah  sebagian manusia menyembah-nyembah dengan aneka cara dan dengan mengikuti petunjuknya yang menuju ke neraka.
Sekarang ini televisi sudah berani sekali merusak moral bangsa dengan  aneka tayangan. Adegan yang berlabel Islam, namun penuh dengan pengrusakan aqidah Islam bahkan berupa kepalsuan dan penghinaan terhadap syariat Islam. Adegan ciuman dan bahkan lebih  dari itu sudah merupakan menu setiap saat. Belum lagi  VCD  porno (yang menurut mereka karya seni) yang beredar  di mana-mana. Masih ditambah lagi dengan aneka  majalah, tabloid  dan bacaan yang porno lagi menjijikkan plus menyesatkan aqidah.
Semua  itu dijajakan secara terang-terangan dan besar-besaran, bahkan kadang dipampang di dekat Masjid,  rumah  Alloh Subahanahu wa Ta’ala. Kalau dulu zaman jahiliyah orang-orang musyrikin memajang  berhala-berhala  di  sekitar  Ka’bah (berhala-berhala ini umumnya patung-patung orang sholeh),  maka  sekarang  manusia-manusia jahiliyah modern memajang gambar-gambar porno dan tak  sopan  di dekat-dekat  masjid, di pinggir-pinggir jalan, di   tempat-tempat strategis,  dan  di kamar-kamar, bahkan ruang  tamu. Sebagian remaja Islam merasa malu apabila di dalam kamarnya tidak dipajang poster-poster artis, pemain bola dan sebagainya. Para aktifis Islam pun, tidak sedikit yang memajang poster-poster penyanyi-penyanyi ”Islam”, ustadz/ustadzah idola  (sungguh hal yang memilukan hati). Bahkan poster yang tidak sedikit memperlihatkan aurat tersebut, secara sengaja atau tidak sengaja pada hakikatnya secara tidak langsung ataupun langsung telah dijadikan sebuah berhala era modern. Mereka sangat mengelu-elukannya dan memimpikannya.
Sungguh fenomena luar biasa. Benar-benar jahiliyah  modern.  Televisi dan VCD  yang  berisi gambar-gambar porno pun dipajang di kamar-kamar, bahkan kamar tidur. Ini seperti orang-orang musyrikin menyimpan benda-benda yang  dikeramatkan yang dianggap sebagai memberikan keamanan kepada mereka.
Keadaan ini pantas dibanggakan di depan Sang Iblis yang setiap saat menyeleksi syetan-syetan yang melapor padanya atas  dahsyatnya tipu daya yang dilakukan syetan terhadap manusia.
Yang lebih luar biasa lagi adalah sebagian penjahat, artis dan masyarakat bahkan para pejabat berbondong-bondong tunduk di kaki para dukun atau istilah modern-nya paranormal. Sedang para dukun/paranormal makin cengengesan (tertawa  tanpa aturan) dengan aneka paket tipuan. Ada yang membuat istilah pengobatan alternatif, kontak jarak jauh, supranatural, susuk asmara, paranormal ampuh dan aneka macam tetek bengek istilah yang mereka tipukan pada masyarakat. Padahal hakekatnya adalah sama saja, mereka itu adalah biang para perusak bangsa ini.
Sulit diatasi kecuali mengembalikan umat ke jalan Islam yang shohih secara kaffah. Bagaimana tidak sulit, pihak keamanan yang harusnya menjadi pengayom penegakkan kebenaran dan keadilan (Adil dan Benar itukan menurut Alloh bukah menurut manusia atau thoghut) justru ikut-ikutan antri ke dukun, sedang para punggawa sampai pejabat tinggi sudah banyak yang tunduk pada dukun, maka pada dasarnya negeri ini adalah mainan syetan. Karena dukun adalah wali (kekasih, teman komplot) syetan.
Kenapa  syetan-syetan  yang sebenarnya  adalah  musuh manusia itu malah di mintai tolong  untuk menyantet, untuk menghidup suburkan kemaksiatan, untuk menegakkan hukum thoghut,  dan untuk membantu dalam menolak ditegakkannya syari’at Islam?
Bukankah kita masih mengaku sebagai Muslim? Bahkan marah kalau ada yang menyindir seperti; “Saya memakai jilbab karena saya Muslim, saya menutup aurat karena saya Muslim” Lalu lawan bicaranya sedikit sebal dengan berkata “Saya Juga Muslim Bu!!!”
Sadarkah kita!, Selama ini mungkin mulutmu sering jadi corong  syetan. Tangan sering menjadi senjata syetan dalam menggencet muslimin. Otak sering jadi penebar ideologi syetan dalam  menghalangi syari’at Islam. Sedang darah dan daging mungkin memang  dijadikan dari makanan yang dihasilkan bersama-sama syetan atau dengan cara yang dicanangkan syetan. Ini bukan tuduhan, tetapi sekadar mengingatkan, kepada diri saya sendiri dan kepada jama’ah sekalian. Kita ini perlu muhasabah, mengoreksi diri. Kenapa kita  sudah terlalu jauh rusaknya seperti ini.
Kita meminta kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala agar memberi hidayah kepada kita semua dan memberi taufik kepada kaum muslimin seluruhnya, para pemerintah dan rakyatnya untuk kembali ke jalan yang Haq, memerangi syetan dan berhati-hati dari padanya, serta merasa cukup dengan apa-apa yang telah disyariatkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya pada segala perkara di muka bumi ini yang sesuai dengan syariat karena Dia-lah yang berkuasa atasnya. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab


Waspadalah Dari Thoghut

MediaMuslim.Info – Thoghut adalah setiap yang disembah selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala, ia rela dengan peribadatan yang dilakukan oleh penyembah atau pengikutnya, atau rela dengan keta’atan orang yang menta’atinya dalam hal maksiat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengutus para Rasul agar memerintahkan kaumnya menyembah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata dan menjauhi segala bentuk thoghut. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (semata), dan jauhilah thoghut itu’.” (QS: An-Nahl: 36)
Bentuk thoghut itu amat banyak, tetapi pemimpin mereka ada lima, yaitu:
  1. Setan.
    Thoghut ini selalu menyeru beribadah kepada selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Dalil-nya adalah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.” (QS: Yaasiin: 60)
  2. Penguasa zhalim yang mengubah hukum-hukum Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
    Seperti peletak undang-undang yang tidak sejalan dengan Islam. Dalilnya adalah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang mengingkari orang-orang musyrik. Mereka membuat peraturan dan undang-undang yang tidak diridhai oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Alloh yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Alloh?” (QS: Asy-Syuuraa: 21)
  3. Hakim yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
    Jika ia mempercayai bahwa hukum-hukum yang diturunkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak sesuai lagi, atau dia membolehkan diberlakukannya hukum yang lain. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS: Al-Maa’idah: 44)
  4. Orang yang mengaku mengetahui ilmu ghaib selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
    Dalam hal ini Allah Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Katakanlah, ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Alloh’.” (Qs: An-Naml: 65)
  5. Seseorang atau sesuatu yang disembah dan diminta pertolongan oleh manusia selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala, sedang ia rela dengan yang demikian.
    Dalilnya adalah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya aku adalah Tuhan selain Alloh’. Maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zhalim.” (QS: Al-Anbiyaa’: 29)
Setiap mukmin wajib mengingkari thaghut sehingga ia menjadi seorang mukmin yang lurus. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS: Al-Baqarah: 256)
Ayat ini merupakan dalil bahwa ibadah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sama sekali tidak bermanfa’at, kecuali dengan menjauhi beribadah kepada selain-Nya. Rasululloh ShallAllahu’alaihi wa Sallam menegaskan hal ini dalam sabdanya, yang artinya: “Barangsiapa mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallah’, dan mengingkari apa yang disembah selain Alloh, maka haram atas harta dan darahnya”. (HR: Muslim)

Belajar Tentang Islam

Ikhlas Menurut Pandangan Islam??

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kedudukan Ikhlas

Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”

Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”

Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”

Makna Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.

Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.

Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.

Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.

Buruknya Riya
Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”

Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?’” (HR Ahmad).

Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)

Ciri Orang Yang Ikhlas
Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:

1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”

Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.

Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”

2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)

Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.

3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.

Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.

klo ada kesalahan mohon dimaafkan karena saia juga masih banyak belajar tentang agama..^_^

Wassalamu'alaikum Wr.Wb


Hakekat Ikhlas
Dari segi bahasa ikhlas berarti membersihkan dan memurnikan sesuatu.
Adapun menurut syari’at ikhlas mempunyai makna yang sangat banyak yang kesemuanya adalah benar dan saling melengkapi.
Diantara makna ikhlas menurut Salafush Shaleh -Rahimahumullah adalah:
“Hanya berorientasi kepada Allah Yang Maha Esa semata dalam beribadah.”
“Membersihkan hati dari segala yang mengotori kebeningannya.”
“Menghindari perhatian makhluk.”
“Mengesakan Allah dalam tujuan ketaatan.”
“Memurnikan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dari segala kotoran.”
“Apa yang tidak diketahui Malaikat sehingga mencatatnya, tidak diketahui oleh musuh sehingga merusaknya dan tidak ujub (bangga diri) atasnya pelakunya sehingga membatalkannya.”
“Pemotivasi dalam mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan adalah mencari Ridha Allah.”
“Melupakan pandangan makhluk dengan terus menerus memandang Al-Khaliq (Allah).”
“Sama antara amal lahir dan batin seorang hamba dan bahkan batinnya lebih baik dari lahirnya.”
“Tidak ingin amalnya diketahui oleh yang lain selain Allah dan tidak pula mengharapkan balasan dari yang lain selain Allah.”
“Mengharapkan dengan segenap hati, amal dan perbuatan mencari ridha Allah dan takut dari murka Allah.”
“Menutupi kebaikan-kebaikan sebagaimana menutupi keburukan-keburukan.”
“Tidak mengaku atau melihat dirinya telah berbuat ikhlas.”…Dll…
Semua definisi diatas adalah benar dan saling melengkapi, intinya, ikhlas adalah tujuan seorang hamba dalam ketaatan dan taqarrubnya (mendekatkan dirinya) kepada Alah semata-mata hanya Allah saja tanpa yang lain. Bukan karena manusia, ingin dipuji, suka dipuji, ingin dilihat, didengar, ingin mendapatkan materi duniawi, popularitas atau yang lainnya.[www.hatibening.com]

Kumpulan Kaidah Fikih tentang Ibadah Mahdhah

Kumpulan kaidah fikih tentang ibadah mahdhah. Ibadah dalam Islam, ada yang disebut sebagai ibadah mahdhah ada juga disebut sebagai ibadah ghairu mahdhah. Namun sebelum membahas maksud dari ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah, terlebih dahulu didefinisikan pengertian ibadah.

Kata ibadah berasal dari bahasa arab artinya patuh, tunduk. Dilihat dari segi istilah, ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah SWT, baik berupa ucapan atau perbuatan yang tampak maupun yang sirr yang dilakukan oleh manusia. Dalam istilah lain, ibadah adalah ketundukan manusia kepada Allah yang dilaksanakan atas dasar iman yang kuat dengan melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya dengan tujuan mengharapkan ridha dan ampunan-Nya, termasuk tujuannya ingin masuk surga. Selain itu beribadah kepada Allah harus dilakukan dengan ikhlas, bukan untuk mendapatkan pujian dari orang lain atau maksud-maksud lainnya.

Selanjutnya berkaitan dengan mahdhah. Maksud dari ibadah mahdhah adalah ibadah yang murni hubungan antara manusia dengan Allah. Jenis-jenis ibadah yang termasuk ibadah mahdhah adalah : wudhu, tayammum, mandi suci dari hadats, adzan, iqamat, shalat, membaca Alquran, i’tikaf di mesjid, puasa, haji, umrah, tajhiz al-janazah [penyelenggaraan jenazah].

Adapun ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang bukan murni berhubungan secara langsung dengan Allah. Dalam istilah lain dikatakan bahwa semua bentuk amal kegiatan yang tujuannya untuk taqarrub ilallah, serta tempat dan waktunya tidak diatur secara rinci oleh Allah, maka itu disebut sebagai ibadah ghairu mahdhah. Di antara ibadah yang termasuk ibadah ghairu mahdhah adalah sedekah, infaq, membuang sesuatu yang dapat menghalangi orang di jalan, belajar, mengajar, dzikir, dakwah, tolong menolong, gotong royong, rukun dengan tetangga dan lain sebagainya, bahkan termasuk juga perilaku yang terpuji.

Intinya adalah bahwa yang harus diperhatikan dalam ibadah ghairu mahdhah adalah :

  1. Tidak adanya dalil baik dari Alquran dan pun Nabi yang melarang melakukan ibadah ghairu mahdhah. Artinya, selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang tau mengharamkan maka ibadah bentuk ini boleh dilaksanakan.
  2. Pola atau style pelaksanaan ibadah tersebut tidak selalu persis sama seperti pola yang dilakukan Nabi. Misalnya, cara berinfaq dan bersedekah, jumlah yang diinfaqkan dan disedekahkan atau yang lainnya. Semuanya itu tidak harus sama dengan yang dilakukan nabi.
  3. Ibadah yang dilakukan adalah ibadah yang logis, sehingga baik atau buruk, untung atau pun rugi, bermanfaat atau mengandung mudarat, semuanya dapat ditentukan oleh akal atau logika. Oleh karena itu jika menurut akal sehat, amal yang dianggap ibadah tersebut mengandung keburukan, merugikan, dan berakibat mudharat, maka amal tersebut tidak boleh dilakukan.
  4. Mengandung asas manfaat. Artinya selama amal atau perbuatan yang itu mengandung manfaat, maka ia dapat dikatakan ibadah ghairu mahdhah dan hal ini dibolehkan melakukannya.

Khususnya dalam tulisan ini, yang difokuskan adalah berkaitan dengan kaidah-kaidah fikih [qawaid al-fiqhiyyah] yang berhubungan dengan ibadah mahdhah.

Kaidah-kaidah tersebut adalah :
۱. الأَصْلُ فِى الْعِبَادَةِ التَّوْفِيْقِ وَالْإِتْبَاعِ

Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntunan syari’ah”.

Maksud dari kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdah, harus ada dalil yang menunjukkan untuk dapat diikuti tuntunannya. Selain dari kaidah di atas, ada pula kaidah lain yang memiliki maksud yang sama dengan kaidah di atas,yaitu :

الْأَصْلُ فِى الْعِبِادَةِ البُطْلَانُ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ

Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya”.

Kedua kaidah di atas mengandung pengertian yang sama, yakni setiap ibadah mahdah yang kita laksanakan haruslah ada dalil yang menunjukkannya, baik itu dari Alquran maupun Hadis (Sunnah) Nabi SAW. Karena ibadah mahdah tidak sah apabila tanpa ada dalil yang memerintahkannya atau yang menganjurkannya. Contohnyasalah satunya seperti shalat wajib lima waktu atau macam-macam ibadah mahdhah yang disebutkan sebelumnya.

Sebagian masyarakat muslim ada yang menggunakan kaidah ini untuk menyatakan tidak ada ritual atau ibadah yang perlu dilakukan selain dari yang ditentukan nabi, sehingga masyarakat muslim ini pun cenderung mengatakan bahwa orang yang melakukan ibadah tersebut, seperti shalat hadiah, haulan, menyelenggarakan acara-acara peringatan dan lain-lain termasuk perbuatan yang sia-sia, karena tidak ada tuntunan dan tuntutan dari Allah maupun Nabi.

Apabila bersandarkan kepada kaidah di atas, sebenarnya seperti itulah yang dapat dijadikan pegangan, sebab ibadah mahdhah tersebut harus berdasarkan adanya dasar dari agama yang memerintahkannya. Namun demikian, saya lebih cenderung sependapat dengan pendapatnya Syekh Nawawi Albantani dalam kitanya Nihayatuz Zain bahwa shalat sunnah seperti shalat hadiah dan yang lainnya yang tidak ada tuntunannya baik dari Alquran atau pun hadis nabi boleh dilakukan. Saya meyakini Allah Maha Tahu maksud seseorang melakukan segala bentuk ibadah. Hal ini sesuai dengan kaidah الأمور بمقادها seperti yang telah dibahas pada artikel sebelumnya bahwa setiap sesuatu tergantung dari niatnya. Maksudnya walaupun ibadah yang dilakukan tidak ada tuntunannya, terlebih tidak ada tuntutannya, tetapi tetap dilakukan karena niatnya juga baik, maka hasilnya pun juga baik. Allah pasti mengetahui hal tersebut.

Kendati demikian, saya juga mengakui bahwa apabila hanya mengandalkan niat seperti pada kaidah di atas, tetapi tidak adanya dasar yang kuat, maka hal tersebut juga berpeluang untuk dikatakan sebagai ibadah yang sia-sia.

Berdasarkan adanya polemik ini, saya lebih cenderung untuk mengambil jalan tengah bahwa sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan, pasti Allah memberikan balasan yang berlipat ganda, lihat dalam Q.S. an-Nisa [4: 20]. Selain itu selama bacaan-bacaan, gaya dan gerak gerik ibadah tersebut dilakukan tidak berbeda dengan bacaan-bacaan, gaya dan gerak gerik seperti dalam ibadah mahdhah, maka menurut hemat saya juga bukan merupakan ibadah yang sia-sia. Begitu juga dengan amalan-amalan yang lain seperti yang disebutkan sebelumnya.

Satu hal yang membuat saya lebih cenderung dan mantap untuk membolehkan ibadah yang tetapi tidak ada tuntunan dan tuntutan dari Allah dan Nabi, bahwa dengan melakukan ibadah tersebut tidak ada dampak yang mempengaruhi kualitas iman seseorang kepada Allah dan tidak ada pula dampak berupa penyakit yang timbul hanya karena melakukan ibadah tersebut.

Berbeda halnya, apabila ibadah tersebut dilakukan akan membuat syirik atau dilakukannya ibadah itu dapat menimbulkan penyakit, maka tentunya tidak boleh dilakukan.

Saya yakin kecenderungan saya ini, banyak yang tidak sependapat, tetapi Insya Allah alasan yang saya kemukakan termasuk hal yang logis. Selanjutnya kaidah yang kedua adalah :

۲ .طَهَارَةُ الْأَحْدَاثِ لَا تَتَوَقَّتْ.

Suci dari hadas tidak ada batas waktu”.

Maksud dari kaidah ini adalah apabila seseorang telah bersuci baik dari hadas besar maupun kecil, maka tetap ia dalam keadaan suci selama tidak ada hal-hal yang meyakinkan bahwa ia batal. Contohnya seperti seseorang yang telah berwudhu, dan selama ia tidak merasa yakin akan batalnya dari wudhu tersebut dan tidak ada pula indikasi-indikasi yang meyakinkan batalnya wudhu, maka ia tetap dalam keadaan suci. Kaidah ini dapat dikaitkan dengan kaidah fikih yang lain seperti yang dikemukakan pada artikel sebelumnya, yaitu :

الْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِاشَّكِ.

Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.

Kaidah berikutnya adalah :

۳. التَّلَبَسُ بِالْعِبَادَةِ وَجَبَ إِتْمَامُهَا.

Percampuran dalam ibadah mewajibkan menyempurnakannya”.

Maksud dari kaidah ini adalah ada dua macam kemungkinan, yaitu menyempurnakan ibadah atau berpindah kepada keringanan. Percampuran ini sendiri menyebabkan keserupaan, kebingungan, dan kesulitan. Kaidah ini menjelaskan bahwa orang yang dalam keadaan demikian wajib menyempurnakannya.

Contohnya, jika seseorang sedang berpuasa ramadhan, kemudian ingin melakukan perjalanan yang jauh. Ia berpikir, apakah harus tetap ia berpuasa atau membatalkan puasanya karena bepergian tersebut. Apabila berdasarkan kaidah di atas, maka ia harus tetap berpuasa.

Akan tetapi karena adanya perjalanan [safar] merupakan illah hukum bolehnya [rukhsah] tidak berpuasa, maka seseorang tersebut dibolehkan tidak berpuasa. Walaupun di dalam perjalanan tersebut tidak ditemukan adanya kesulitan seperti yang terdapat pada kaidah الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ seperti pada artikel sebelumnya.
Contoh lainnya tentang puasa. Misalnya seseorang ingin membayar puasa ramadhan dan ketika di pertengahan puasanya, ia teringat bahwa pada hari itu adalah hari senin, sehingga ia ingin juga menggabungnya dengan puasa senin, maka orang yang dalam keadaan ini, tidak dapat mencampurkan dua ibadah tersebut dan ia harus menyelesaikan pembayaran puasa tersebut.

Kaidah selanjutnya :

٤. لَاقِيَاسَ فِى الْعِبَادَةِ غَيْرِ مَعْقُلِ الْمَعْنَى.

“Tidak bisa digunakan analogi (qiyas) dalam ibadah yang tidak bisa dipahami maksudnya”.

Kaidah di atas adalah kaidah yang diperselisihkan di antara para ulama, sebab ketentuan pokoknya yaitu qiyas juga menjadi perdebatan para ulama. Kendati demikian, dalam artikel ini kaidah di atas tetap dibahas, karena berkaitan dengan ibadah mahdhah.

Maksud dari kaidah itu adalah untuk membatasi penggunaan qiyas. Qiyas yang dimaksudkan di sini adalah rasional atau logika. Artinya segala bentuk ibadah sebenarnya bisa saja dipikirkan dan dinalar karena ‘illah [motif timbulnya hukum] hukum ibadah tersebut dapat diketahui, namun karena ada pula ‘illah hukum ibadah yang tidak bisa dinalar. Dengan demikian, maka ibadah ini tidak bisa diqiyas [dinalar] sehingga diterima apa adanya.

Contohnya : shalat gerhana matahari atau gerhana bulan yang tidak dapat diketahui ‘illah hukumnya, sehingga para ulama pun melakukannya dengan ta’abbudi. Begitu juga ketika shalat maghrib, dua raka’at pertama dengan jahr [suara yang jelas], namun pada 1 raka’at yang terakhir dilakukan dengan sirr [hanya kedengaran oleh diri sendiri]. ‘Illah hukum kenapa raka’at terakhir dengan sirr tidak dapat diketahui. sama halnya dengan 2 raka’at terakhir shalat Isya. Oleh karena itu, semua diterima secara ta’abbudi.

Kaidah selanjutnya :

٥. تَقْدَيْمُ الْعِبَادَةِ قَبْلَ وَجُوْدِ سَبَبِهَا لَا يَصِحُّ.

Tidaklah sah mendahulukan ibadah sebelum ada sebabnya”.

Kaidah ini bermaksud tidak bisa kita mendahulukan suatu ibadah sebelum tiba waktunya, waktu yang telah ditentukan kapan ibadah tersebut harus dilakukan. Contohnya seperti shalat lima waktu, jika belum sampai waktunya tidak sah shalat yang dilakukan, kecuali ada hal-hal tertentu, misalnya menjamak shalat.

Kaidah berikutnya :

٦. كُلُّ بُقْعَةٍ صَحَّتْ فِيْهَا النَّافِلَةُ عَلَى الْإِطْلَاقِ صَحَّتْ فِيْهَا الْفَرِيْضَةُ.

Setiap tempat yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak, sah pula digunakan shalat fardhu”.

Selama tempat tersebut bersih dan bisa digunakan untuk shalat, maka hal tersebut boleh untuk melaksanakan shalat. Contohnya, boleh atau sah melakukan shalat idul fitri atau idul adha di lapangan, maka sah pula melakukan shalat fardhu di tempat tersebut, selama tempat tersebut bersih dan suci.

Selanjutnya :

٧. الْإِثَارُ فِى الْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ.

Mengutamakan orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selainnya disenangi”.

Maksud kaidah ini adalah makruh jika mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah. Akan tetapi, tidak jadi masalah jika mendahulukan orang lain dalam hal duniawi atau masalah sosial di masyarakat. Contohnya, makruh mengutamakan orang untuk shalat di shaf pertama, sementara kita mengalah di shaf kedua. Jelas hukumnya makruh, walaupun dengan pimpinan atau orang tua.

Akan tetapi, jika kita mendahulukan seseorang misalnya dalam suatu antrian [terlebih dengan yang sudah tua sekali], maka hal tersebut tidak jadi masalah, selama kita tidak bergegas pula.

Kaidah berikutnya :

٨. الْفَضِيْلَةُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِنَفْسِ الْعِبَادَةِ أَوْلَى مِنَ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَكَانِهَا.

Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”.

Maksud dari kaidah ini, ada keterkaitan antara perbuatan ibadah seseorang dengan tempat dan antara beribadah sendirian dengan berjamaah. Contohnya, shalat di lingkungan ka’abah lebih utama di luar ka’bah, namun apabila shalat di luar ka’bah secara berjama’ah maka lebih utama dibandingkan dengan shalat di lingkungan ka’bah tapi sendirian.

Begitu juga shalat di luar ka’bah, apabila dilakukan secara berjama’ah, maka lebih utama jika dibandingkan dengan sendirian. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi :

(صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً. ﴿متفق عليه

Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.” (Muttafaqun alaihi).

Selanjutnya :

٩. الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبِرَة وَالْحَمَّام.

Bumi ini seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi”.

Maksud kaidah di atas adalah dimana saja kita berada asalkan bersih dari najis maka kita boleh melakukan shalat karena semuanya dianggap mesjid, kecuali di kuburan dan kamar mandi.

Dilarangnya di kuburan, karena dikhawatirkan akan timbulnya anggapan orang lain bahwa kita menyembah ke kuburan. Dilarangnya shalat di kamar mandi, karena semua orang sudah mengetahui bahwa kamar mandi merupakan tempat untuk membersihkan diri baik mandi atau pun buang hadas.

Timbul suatu pertanyaan, apakah boleh shalat di gereja? Berdasarkan kaidah tersebut, dibolehkan melakukan shalat di gereja atau tempat ibadah agama lain. Permasalahannya hanya kurang etis, selain itu bertentangan pula dengan kaidah sebelumnya yang menyebutkan ”Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya”.

Berikutnya :

۱۰. الْخَوْفُ يُبِيْحُ قَصْرَ صِفَةِ الصًّلَاةِ.

Kekhawatiran membolehkan qhasar shalat”.

Kaidah di atas dapat menjadi pegangan bagi seseorang, jika dalam suatu keadaan yang mendesak, dibolehkan untuk melakukan qhasar shalat. Contohnya, seseorang yang akan menuju suatu kota dan ia menumpang suatu armada bus, saat transit di sebuah tempat, dan armada bus tersebut hanya mampir sebentar, maka seseorang tersebut boleh mengqhasar shalat, karena ditakutkannya akan ketinggalan bus tersebut.

۱۱. الْعِبَادَةُ الْوَارِدَةُ عَلَى وُجُوْهٍ مُتَنَوِّعَةٍ يَجُوْزُ فِعْلَهَا جَمِيْعِ تِلْكَ الْوُجُوْهِ الْوَارِدَةِ فِيْهَا.

Ibadah yang kedatangannya (ketentuannya) dalam bentuk yang berbeda-beda, boleh melakukannya dengan cara keseluruhan bentuk-bentuknya”.

Maksud dari kaidah ini adalah, banyak cara dalam melakukan satu macam ibadah. Karena itu boleh memilih salah satu cara, bahkan yang mudah, asal konsisten melakukannya, namun dalam suatu waktu, boleh menggunakan cara yang lain, dan bahkan suatu waktu boleh juga menggabungkan cara-cara tersebut karena keseluruhannya mencontoh dari hadis nabi.

Contohnya, boleh saja melakukan shalat dhuha dua rakaat, meski lebih dari dua rakaat juga boleh, namun yang lebih bagus adalah yang dapat membuat kita konsisten melakukannya. Suatu waktu bisa saja kita melakukan lebih dua rakat. Sama halnya juga terkait dengan bacaan-bacaan dalam shalat, misalnya doa iftitah yang kita ketahui ada berbagai macam. Masih banyak lagi contoh-contoh yang lain.


Kaidah selanjutnya :

۱۲. الْجُزْءُ الْمُنْفَصَلُ مِنَ الْحَيِّ كَمَيْتَتِهِ.

Bagian yang terpisah dari binatang yang hidup hukumnya seperti bangkai binatang tersebut”.

Maksud dari kaidah di atas yakni, apabila ada salah satu bagian binatang yang terpisah dari bagian tubuhnya yang masih hidup, maka yang terpisah itu hukumnya seperti bangkai. Contohnya, seekor sapi yang kakinya terpotong, maka hukum dari kaki tersebut adalah haram menurut kaidah di atas, karena bagian lainnya masih hidup, sehingga yang terpisah itu hukumnya sama seperti bangkai.

Kaidah berikutnya adalah :

كُلُّ مَنْ وُجِبَ عَلَيْهِ شَيْءٌ فَفَاتَ لَزِمَهُ قَضَاؤُهُ.

Setiap sesuatu yang diwajibkan kepada seseorang, kemudian dia lewatkan (tidak dilakukan), maka dia wajib meng-qadhanya”.

Kaidah ini terkenal dilakukan oleh ulama Syafi’iyyah, sehingga apabila ada kewajiban yang tertinggal dilaksanakan, seperti shalat wajib, maka ia wajib mengqadhanya, kecuali untuk wanita yang meninggalkan shalat karena haidh, maka kaidah ini tidak diberlakukan pada mereka.

Namun tidak sedikit juga ulama yang tidak menerapkan kaidah di atas, sehingga apabila ada kewajiban yang tertinggal atau tidak dilakukannya, maka kewajiban tersebut tidak bisa diqadha. Contohnya seperti tidak adanya qadha untuk shalat wajib.

Khusus untuk puasa wajib di bulan Ramadhan, para ulama sepakat bagi yang meninggalkannya diwajibkan untuk membayar di hari yang lain di luar bulan ramadhan dan termasuk pula wanita yang tidak berpuasa karena haidh. Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Baqarah [2: 184] :yang artinya :

Dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Ada kaidah yang dipakai dalam kalangan Malikiyyah, tetapi pada mazhab lainnya tidak digunakan, yakni:

كُلَّ مَا يُفْسِدُ الْعِبَادَة عَمْدًا يُفْسِدُهَا سَهْوًا.

Setiap yang merusak (membatalkan ibadah) karena sengaja, maka hal tersebut membatalkannya pula karena lupa”.

Kaidah di atas menunjukkan kehati-hatian dalam ibadah, apabila tidak sengaja melakukan kesalahan karena lupa atau hal lain yang dapat merusak ibadah, maka hal tersebut sama membatalkan ibadah tersebut. Contohnya seseorang yang sedang berpuasa kemudian makan, maka puasanya batal, walaupun makan itu karena lupa. Namun menurut mazhab ini ia tidak berdosa.

Berbeda halnya dengan pendapat yang lain, lupa adalah salah satu unsur yang dapat dimaafkan dalam ibadah, sebagaimana kaidah di bawah ini:

مَا لَايُمْكِنُ الْإِحْتِرَازِ مِنْهُ مَعْفُوٌ عَنْهُ.

Apa yang tidak mungkin dalam menjaganya, maka hal itu dimaafkan”.

Kalau kita lihat pada kaidah di atas, maka ketidaksengajaan tersebut dapat dimaafkan. Selain itu, ada hadis Nabi SAW yang menyebutkan bahwa “Barangsiapa yang lupa makan dan minum, padahal dia sedang puasa, maka teruskan puasanya, karena Allah SWT memberi makan dan minum kepadanya”.

Kaidah berikutnya :

۱۳. لَاتَجِبُ فِى عَيْنِ وَاحِدَةٍ زَكَاتَانِ.

Dalam satu jenis benda tidak wajib dua kali zakat”.

Kaidah ini bermaksud, apabila dalam satu benda yang sama, maka zakat yang dikeluarkan pun hanya sekali saja. Contohnya, seorang pedagang obat yang jika harta kekayaannya ditaksir sudah cukup memenuhi wajib zakat, maka zakat wajibnya hanya sekali setahun, meski kekayaannya sangat melimpah. Tetapi apabila pedagang obat ini memiliki juga usaha yang lain seperti memiliki perkebunan yang luas, maka ia diwajibkan juga berzakat dari hasil perkebunan tersebut.

Kaidah yang terakhir adalah :

. مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَتُهُ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِطْرَةُ كُلِّ مَنْ تَلْزَمَهُ.

Barangsiapa yang diwajibkan kepadanya zakat fitrah, maka wajib pula baginya mengeluarkan zakat fitrah bagi orang yang dia wajib menafkahinya”.

Maksud dari kaidah ini ialah, seseorang yang telah wajib zakat fitrah, wajib juga mengeluarkan zakat bagi orang yang menjadi tanggungannya atau tanggung jawabnya. Contohnya, Seorang ayah atau suami wajib mengeluarkan zakat fitrah bagi anak-anaknya, selama anak tersebut masih menjadi tanggungannya. Begitu juga wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk isterinya. Semoga bermanfaat. wallahu'a'lam bishshawab.

Read more: http://www.abdulhelim.com/2012/10/kumpulan-kaidah-fikih-tentang-ibadah-mahdhah.html#ixzz2gzUkWN5n

Entri Populer

Translate

PINTAR HERBA

PINTAR HERBA
HALALNETWROK